Rabu, 20 Mei 2015

Review Novel "Pulang" - Leila S Chudori



Ini Novel paling banyak  halamannya yang pernah saya baca sepanjang di tahun 2015 sampai bulan Mei ini, novel pertama yang didalamnya bercerita terkandung unsur sejarah dan politik, sebenarnya saya tidak begitu suka politik karena alasan klasik yang mungkin rata-rata orang yang juga tidak begitu tertarik dengan politik mempunyai alasan yang sama dan akan sependapat dengan saya bahwasanya politik akan berteori tidak ada teman yang abadi dan tidak ada pula lawan yang abadi, semua tergantung kepentingan, dari jaman dulu sampai jaman apa namanya sekarang ini, sebut saja jaman reformasi yang “katanya” sebagian besar orang jaman perubahan (perubahan dalam pemahaman saya bisa penurunan dan bisa peningkatan intinya berubah)
Seperti yang sudah-sudah untuk memulai membaca sebuah novel, saya sebelumnya akan searching 2 atau 3 referensi pendapat orang-orang yang sudah membacanya, tapi tidak dengan buku ini, dengan judul “Pulang” sudah cukup menggambarkan dibenak saya, cerita kisah tentang perjalanan seseorang yang sedang merantau kemudian kekampung halaman, dan andaikata saat itu saya membaca review orang-orang dan kebetulan mereka menuliskannya dari sisi politik, “mungkin” akan mengurungkan niat untuk membacanya sampai selesai.
Cerita di bab awal, saat dimas suryo diutus untuk mengikut suatu pertemuan di eropa dan peking, yang seharusnya saat itu yang berangkat adalah Hananto, karena satu dan lain hal urusan pribadi yang harus di selesaikan, maka yang diutus berangkat adalah Dimas. Berliku permasalahan yang mereka hadapi selama disana sampai-sampai passpor mereka dicabut artinya tidak bisa di terima untuk masuk ke Indonesia, hal ini terjadi juga dengan sahabat-sahabat yang lainnya yakni Nugroho, Tjai dan Risjaf. Bermacam-macam pekerjaan agar bisa bertahan hidup di negeri orang termasuk mendirikan restoran Indonesia dimana Dimas yang memang jago masak sebagai kepala kokinya. Dimas yang akhirnya menikah dengan warga sana bernama Vivienne, perkenalan antara Vivienne dan Dimas semacam le coup de foudre yang artinya cinta pada pandangan pertama, saat demo mahasiswa di Paris, jangan bayangkan demonya ada adegan bakar-bakar dan anarkis, mereka melakukan demo secara anggun yang intinya suara mereka didengar kepada pihak yang didemo, isi dialog antara Vivienne si mata hijau dengan Dimas dilanjutkan kisah percintaan mereka yang salah satu adegannya mulutnya ditutup mulutku kata Dimas, tapi menurut saya bagian kalimat ini sebagai pemanis agar pembaca penasaran untuk lanjut ke halaman-halaman berikutnya.
Menjadi tapol (tahanan politik), inilah pertanyaan sampai sekarang yang saya belum mengerti, tadinya saya berfikir jawabannya ada di akhir-akhir cerita buku ini, namun sampai selesai di halaman 449 yang merupakan halaman terakhir saya pun belum menemukan jawabannya, apa ada yang tersirat ya di bacaan sebelumnya, sayapun masih kurang paham, yang jelas mereka bekerja di kantor berita nasional dianggap sebagai anggota geng komunis yang menurut di tulisan ini mereka sering secara lantang menyeruakan pendapat politiknya yang berseberangan dengan pemerintahaan saat itu, jujur agak bias bagi saya sebagai pembaca karena tidak ada adegan yang menyatakan seperti apa misalnya aksi suara lantang mereka. Kenapa Mba Leila ng sekalian menuliskan dengan cara tersurat ataupun terselip di dalam tulisannya ini.
Hananto yang menghilang sekian lama, keluarga yang hari-harinya dipenuh dengan pengawasan, dianggap sebagai warga yang menyusahkan, black list para keturunannya untuk menjadi anggota TNI/Polri maupun bekerja di kantor pemerintahan, apalah salah keturunannya dimana mereka yang tidak berdosa dan belum terlahir dimasa itu. Sampai kapan kita akan men-judge seseorang tentang masa lalu keturunannya yang ceritanya pun masih diragukan kebenarannya.
Pemeran-pemeran korban 30 September 1965, seperti di sejarah yang saya baca di sekolahan seperti Ahmad Yani, Ade Irma Nasution tidak banyak diceritakan disini, lebih banyak tentang kesengsaraan keluarga korban, bagaimana bertahan hidup di negeri orang, mereka dan keluarga dikucilkan di masyarakat, sampai-sampai keturunan yang terlahir  tidak cukup kuat menerima sampai-sampai harus malu mengakui siapa darah kandung sebenarnya.
Cerita-cerita akhir saat Lintang yang sudah beranjak dewasa, kuliah di Universitas Sorbonne Paris, anak dari Dimas dan Vivienne, mendapatkan tugas dari dosen sebagai tugas akhir untuk pembuatan film dokumenter politik di Indonesia dengan mewawancarai narasumber berupa mantan tahanan politik dan para keluarganya, sehingga membuat Lintang harus datang ke Indonesia selama beberapa bulan, disinilah alur sisi cerita remaja pertemuan antara 2 anak muda yang terpisah jarak dan waktu. Alam (anak bungsu dari Hananto, sahabat Dimas yang dulu sama sama bekerja di kantor berita) yang mendapatkan peran untuk mendampingi Lintang menyelesaikan tugasnya ini. Fungsinya agar Lintang mendapatkan jalur agar lebih mudah bisa wawancara dengan narasumber, yang menjadi bumbu dalam alur cerita bagian ini adegan seks education yang tertuang dalam cerita, termasuk gaya mereka  saling memadu kasih.
Lintang yang sebelumnya sudah memiliki kekasih di Paris bernama Nara yang juga memiliki darah keturunan Indonesia dari Ibunya, Nara tidak bosan-bosannya menghubungi Lintang selama di Indonesia. Mungkin ini feeling laki-laki saat sang kekasih hati jauh dari pelupuk mata sementara hatinya sudah tak sepenuhnya menjadi miliknya. Sampai akhir cerita cinta segitiga ini tidak ada ujungnya, kalau saya pribadi ditanya, lebih setuju Lintang berpasangan dengan Nara yang nyaris tak ada sisi negatifnya, Nara terlalu baik untuk tersakiti.
Diparagragraf-paragraf akhir, bagaimana akhirnya Dimas bisa pulang dalam kondisi yang sudah tidak bernyawa lagi dan sesuai permintaannya agar dia bisa dikebumikan di daerah Karet.
Dari sisi penulisan
Alur maju mundur maju mundur (ng pakai cantik ala syahrini) cukup membuat berfikir dan kembali kehalaman halaman berikutnya, entah lagi-lagi karena alasan sejarah, bahwasanya penulis berpesan untuk berhenti sejenak, jangan lupa dengan sejarah untuk senantiasa melihat kembali kebelakang dan tidak untuk dilupakan (hahaha ini pendapat saya yang mungkin ng ada hubungannya).
Emosi yang di munculkan yang membuat mudah membayangkan dan serasa larut merasakan apa yang terjadi. Saya besar dan mengenal sejarah saat jaman order baru bertanya, apakah buku-buku sejarah yang saya baca dan pelajari sebelumnya adalah sepenuhnya benar, ataukah sebegitu berkuasanya sampai-sampai membuat sejarah yang bisa di ukir? Entahlah itu sudah berlalu, mendapatkan nilai 8 dalam setiap mata pelajaran sejarah di sekolah dulu sudah cukup mengantarkan saya untuk ke jenjang sekolah berikutnya, yang saat itu merupakan suatu persyaratan kelulusan.
Review ini mengandung dan mengundang banyak pertanyaan, beruntungnya di awal Juni tahun 2015 ini, penulisnya akan hadir di acara Makassar International Writers Festival (MIWF) dan semoga tak ada halangan bertemu dengan Mba Leila, ada waktu luang di luar rundown acara untuk bisa berdiskusi lebih lanjut cerita di buku “Pulang”, sambil santap ikan bakar, appetizernya pisang ijo dan lanjut minum sarabba yang semuanya makanan khas Makassar, semacam menu perpaduan cinta segitiga Lintang, Alam dan Nara.
Well, overall setelah selesai menyelesaikan buku ini di sela sela jam istirahat kantor dan weekend, kurang lebih waktu seminggu untuk melahapnya, penilaian saya memberi angka 8 dari 10 (sama seperti nilai sejarah saya di sekolahan, ini kebetulan :D )
Halaman kosongnya menunggu tanda tangan penulisnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar